Salah satu dari prinsip Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah cinta dan benci karena Allâh Azza wa Jalla, yaitu mencintai dan memberikan wala’(loyalitas) kepada kaum Mukminin, membenci kaum musyrikin dan orang-orang kafir serta berpaling (bara’) dari mereka.[1]
Al-Wala’ dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain: mencintai, menolong, mengikuti dan mendekat kepada sesuatu. Al-muwâlaah adalah lawan kata dari al-mu’âdâh (permusuhan) atau al-‘adawâh (permusuhan). Dan kata al-wali adalah lawan kata dari al-‘aduww (musuh). Kata ini juga digunakan untuk makna memantau, mengikuti dan berpaling. Jadi, ia merupakan kata yang mengandung dua arti yang saling berlawanan.
Dalam terminologi syariat Islam, al-wala’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allâh berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang yang melakukannya. Jadi ciri utama wali Allâh adalah mencintai apa yang dicintai Allâh dan membenci apa yang dibenci Allâh, ia condong dan melakukan semua itu dengan penuh komitmen.
Sedangkan kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri dan memusuhi. Kata bari-a berarti membebaskan diri dari melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allâh dan Rasul-Nya.”[At-Taubah/9:1]
Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.
Dalam terminologi syariat Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allâh berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-bara’ adalah membenci apa yang dibenci Allâh secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Maka, cakupan makna al-wala’ adalah apa yang dicintai Allâh Azza wa Jalla , sedangkan cakupan makna al-bara’ adalah apa yang dibenci Allâh Azza wa Jalla .
A. DEFINISI AQIDAH AL-WALA’ DAN AL-BARA’
Dari penjelasan terdahulu: Akidah al-wala’ wal-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allâh serta apa yang dibenci dan dimurkai Allâh Azza wa Jalla , baik dalam perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini diketahui bahwa kaitan-kaitan al-wala’ wal bara’ terbagi menjadi empat:
1. Perkataan
Doa dan dzikir yang sesuai dengan Sunnah, dicintai Allâh, sementara mencela dan memaki dibenci Allâh Azza wa Jalla.
2. Perbuatan
Shalat, puasa, zakat, sedekah dan melaksanakan kebajikan, mengerjakan sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allâh sedangkan kebalikannya; tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr, dan berbuat bid’ah dibenci Allâh Subhanahu wa Ta’ala
3. Kepercayaan
Iman dan tauhid dicintai Allâh, sedangkan kufur dan syirik dibenci Allâh Subhanahu wa Ta’ala
4. Orang
Orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) dicintai Allâh sedangkan orang kafir, musyrik, dan munafiq dibenci Allâh Azza wa Jalla .
B. KEDUDUDKAN AKIDAH AL-WALA’ WAL BARA’ DALAM SYARIAT ISLAM
Akidah al-wala’ wal bara’ memiliki kedudukan yang sangat penting dalam syariat Islam. Berikut penjelasannya:
Pertama: Al-Wala’ wal bara’ merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, ungkapanلَا إِلَهَ (tiada ilah) dalam syahadat : لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ (tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh) berarti melepaskan diri dari semua bentuk sesembahan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap ummat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah hanya kepada Allâh dan jauhilah thaghut ….’”[An-Nahl/16: 36]
Thaghut adalah semua yang disembah selain Allâh Azza wa Jalla .
Kedua: Al-Wala’ wal bara’ merupakan bagian dari ikatan iman yang paling kuat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ: الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas yang kuat karena Allâh dan memusuhi karena Allâh, mencintai karena Allâh dan membenci karena Allâh.[2]
Ketiga: Al-Wala’ wal bara’ merupakan faktor utama yang menyebabkan hati dapat merasakan manisnya iman. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan tiga hal apabila terdapat pada diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman, di antaranya,
وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا ِللهِ
dan ia mencintai seseorang, ia mencintainya hanya karena Allâh semata
Keempat: Pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allâh Azza wa Jalla , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:[3]
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: .. وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allâh Azza wa Jalla dalam naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: … (salah satunya) dua orang yang saling mencintai karena Allâh, keduanya berkumpul karena Allâh dan ketika berpisah (mereka masih saling mencintai) karena Allâh[4]
C. HUKUM AKIDAH ALWALA’ AL BARA’
Hukum al-wala’wal bara’ dalam syariat Islam adalah wajib, bahkan merupakan salah satu konsekuensi syahadat. Mengenai hukum wajibnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
“Janganlah orang-orang Mukmin menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang Mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun (pertolongan) dari Allâh kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka ….”[Ali ‘Imran/3:28]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin(mu), mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.Sungguh, Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang yang zhalim.”[Al-Mâ-idah/5:51]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allâh dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allâh dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau keluarganya ….”[Al-Mujâdilah/58:22]
D. HAK-HAK AL-WALA’
Ahlus Sunnah memandang bahwa dalam al-wala’ terdapat hak-hak yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Hijrah
Yaitu hijrah dari negeri kafir ke negeri Muslim, kecuali bagi orang yang lemah, atau tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan politik kontemporer yang tidak memungkinkan. Lihat firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat an-Nisa’, ayat ke-97 s/d 99.
2. Membantu dan menolong kaum Muslimin
Yaitu membantu dan menolong kaum Muslimin dengan lisan, harta dan jiwa di semua belahan bumi dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا ۚ وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allâh dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah.(Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka.Dan Allâh Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [Al-Anfâl/8:72]
3. Mencintai kaum Muslimin
Yaitu hendaklah ia mencintai kaum Muslimin sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Ia wajib menasihati kaum Muslimin, tidak menyombongkan diri dan tidak dendam kepada mereka. Ahlus Sunnah berusaha untuk berkumpul bersama mereka. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Rabbnya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, [Al-Kahfi/18: 28]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (مِنَ الْخَيْرِ)
Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri (berupa kebaikan)[5]
4. Menjaga kehormatan kaum Muslimin
Yaitu tidak mengejek, melecehkan, mencari aib, dan tidak melakukan ghibah (menggunjing) serta tidak melakukan namîmah (menebar berita yang menyebabkan permusuhan atau mengadu domba) terhadap sesama kaum Muslimin.[6]
Melakukan apa yang menjadi hak-hak kaum Muslimin seperti menjenguk yang sakit atau mengantar jenazah, mendoakan mereka, memohonkan ampunan untuk mereka, mengucapkan salam kepada mereka, tidak curang dalam bergaul dengan mereka, tidak memakan harta mereka dengan cara yang bathil dan lainnya.
5. Bersatu dalam jama’ah kaum Muslimin
Yaitu bersatu dalam satu jama’ah kaum Muslimin berdasarkan Akidah dan manhaj yang benar, sebagaimana yang dicontohkan oleh generasi awal terbaik ummat ini (para Sahabat). Dan tidak berpecah belah, serta senantiasa saling menolong dalam kebaikan dan takwa, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
E. HAK-HAK AL-BARA’
Ahlus Sunnah memandang bahwa dalam al-bara’ ada hak-hak yang harus dipenuhi, diantaranya:
1. Membenci syirik dan kekufuran serta penganutnya dan senantiasa berlepas diri dari mereka. Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ ﴿٢٦﴾ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
Dan (ingatlah) ketika Ibrâhim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali (kamu beribadah) kepada Allâh Yang menciptakanku; karena sungguh, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.’ [Az-Zukhruf/43:26-27]
2. Tidak menjadikan orang kafir sebagai pemimpin dan tidak mencintai mereka serta harus bara’ dari mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin(mu), mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang yang zhalim.”[Al-Mâ-idah/5:51]
3. Meninggalkan negeri-negeri kafir dan tidak bepergian ke sana melainkan untuk keperluan darurat disertai kesanggupan memperlihatkan syi’ar-syi’ar agama Islam dan tanpa ada pertentangan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ.
Aku melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap setiap Muslim yang bermukim di antara kaum musyrikin.[7]
4. Tidak tinggal di negeri kafir, dan tidak tinggal bersama orang kafir atau musyrik, karena orang yang tinggal bersama mereka berarti sama dengan mereka. Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ
Barangsiapa berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia sama dengannya[8]
5. Tidak menyerupai orang-orang kafir pada apa yang telah menjadi ciri khas mereka dalam permasalahan duniawi (seperti gaya makan, minum, dan pakaian) dan juga ciri khasnya yang berkaitan dengan agama. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَالِفُوْا الْمُشْرِكِيْنَ، وَوَفِّرُوْا اللِّحَى، وَأَحْفُوْا الشَّوَارِبَ
Berbedalah dengan orang-orang musyrik, hendaklah kalian pelihara jenggot[9] dan tipiskan kumis kalian[10]
Juga sabda Beliau Shallallaqhu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”[11]
Di dalam agama Islam, laki-laki dilarang mencukur jenggot karena mencukur jenggot adalah perbuatan yang haram. Hal ini dikarenakan beberapa alasan:
- Merubah ciptaan Allâh Azza wa Jalla (tanpa ada izin dari Allâh)
- Menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Menyerupai orang kafir.
- Menyerupai kaum wanita.[12]
6. Kaum Mukminin diperintahkan untuk menyemir rambut dan menyemir uban (dengan warna selain hitam) karena orang Yahudi tidak menyemir rambut dan tidak mengubah warna uban. Berdasarkan hadits Nabin:
إِنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُوْنَ فَخَالِفُوْهُمْ
Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah mereka.[13]
7. Tidak terlibat dengan mereka dalam bentuk apa pun pada hari raya dan kegembiraan mereka, juga tidak memberikan ucapan selamat serta tidak boleh hadir dalam perayaan mereka.
Umat Islam tidak boleh ikut perayaan orang-orang kafir dan tidak boleh mengucapkan selamat kepada mereka, contohnya tidak boleh mengucapkan selamat natal, karena ucapan ini hukumnya haram.Di antara ciri hamba Allâh ar-Rahman adalah mereka tidak menghadiri perayaan orang kafir. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zûr [Al-Furqân/25:72]
Menurut Mujahidt[14] demikian juga Rabi’ bin Anas t (wafat th. 140 H), “Makna az-zûr dalam ayat ini adalah hari raya orang-orang musyrik.”
Menurut al-Qadhi Abu Ya’lat[15], makna az-zûr adalah tidak boleh menghadiri perayaan kaum musyrikin.[16]
8. Tidak memohonkan ampunan bagi mereka dan juga tidak memohonkan rahmat terhadap mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allâh) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahannam.”[At-Taubah/9:113]
9. Tidak menyandarkan hukum kepada mereka, atau tidak setuju dengan hukum yang dibuat oleh mereka, serta tidak mengikuti ajakan mereka untuk meninggalkan hukum Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.[17]Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para Nabi yang berserah diri kepada Allâh memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara Kitab-kitab Allâh dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah.Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itulah orang-orang kafir.”[Al-Mâ-idah/5:44]
10. Tidak memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَاتَبْدَؤُوْا الْيَهُوْدَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ
Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani[18]
Hadits ini menjelaskan tentang haramnya memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Namun, apabila orang kafir memulai mengucapkan salam kepada kaum Muslimin, maka jawablah dengan ucapan, “Wa ‘alaikum”
Dari Sahabat Anas Radhiyallahu anhu, salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya ahli Kitab mengucapkan salam kepada kami, bagaimana kami menjawab salam mereka?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah wa ‘alaikum”[19]
_______
Footnote
[1] Pembahasan ini dapat dilihat dalam kitab al-Irsyâd ilâ Shahîhil I’tiqâd (hlm. 347-361) Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan, al-Madkhal lidirâsatil ‘Aqîdatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (hlm. 191-203), al-Wajîz fî ‘Aqîdatis Salafish Shâlih (bab al-Muwâlât wal Mu’âdâh fî ‘Aqîdah Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah hlm. 139-146) dan at-Tauhîd lish Shaffil Awwal al-’Aliy (hlm. 96).
[2] Hasan: HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, no. 11537, dari Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 998 dan 1728
[3] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 16; Muslim, no. 43; at-Tirmidzi, no. 2624; an-Nasa-i, VIII/96 dan Ibnu Majah, no. 4033 dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
[4] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 660, 1423; Muslim, no. 1031, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Syarah Shahîh Muslim, VII/121
[5] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 13; Muslim, no. 45 (71); Ibnu Majah, no. 66; at-Tirmidzi, no. 2515; Ahmad, III/176, 206, 251; an-Nasa-I, VIII/115; ad-Darimy, II/307; Abu Awanah, I/33, dari Sahabat Anas z . Tambahan di dalam kurung diriwayatkan oleh Abu ‘Awanah, Ahmad dan an-Nasa-i. Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 73
[6] Lihat QS. Al-Hujurât/49:11-12)
[7] Shahih: HR. Abu Dawud, no. 2645; at-Tirmidzi, no. 1604, dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, haditsnya shahih. Lihat Irwâ-ul Ghalîl , V/29-30, no. 1207
[8] Hasan: HR. Abu Dawud, no. 2787 dari Sahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu . Hadits ini hasan, lihat Silsilatul Ahâdîtsash-Shahîhah, no. 2330
[9] Kata Imam an-Nawawi, “Hendaknya kalian pelihara jenggot, artinya tidak boleh digunting sedikit pun.” (Lihat Riyâdhus Shâlihînno. 1204). Di dalam syariat Islam mencukur jenggot hukumnya haram. Lihat dalil-dalil tentang haramnya mencukur jenggot di dalam kitab Adillah Tahrîm Halqil Lihyah oleh Muhammad bin Ahmad bin Isma’il. Cet. Dâr ath-Thayyibah, th. 1408 H.
[10] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5892 dan Muslim, no. 259 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma.
[11] Shahih: HR. Abu Dawud, no. 4031; Ahmad, II/50 dari Sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, hadits ini shahih.
[12] Lihat Adabuz Zifâf oleh Syaikh al-Albani, hlm. 207-212, cet. Dârus Salam.
[13] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 3462, 5899; Muslim, no. 2103 dan Abu Dawud, no. 4203 dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 187 oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani, cet. Dârus Salâm, th. 1423 H.
Ummat Islam dianjurkan menyemir rambut dan uban tetapi mereka tidak boleh menyemir dengan warna hitam karena diancam oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang menyemir dengan warna hitam tidak akan mencium aroma surga.
[14] Beliau adalah seorang Imam ahli Tafsir dan ahli Fiqh, Imam Tsiqah, tingkatan ketiga dari Tabi’in, wafat th. 103 H. (Lihat Taqrîbut Tahdzîb II/159).
[15] Beliau adalah Muhammad bin Husain bin Muhammad al-Fara’, biasa disebut dengan al-Qadhi Abu Ya’la, wafat th. 458 H.
[16] Lihat Iqtidhâ’ush Shirâthil Mustaqîm li Mukhâlafati Ash-hâbil Jahîm (I/480-481), tahqiq Dr. Nashir bin Abdul Karim al-Aql.
[17] Lihat al-Qur-an surat al-Mâ-idah [5]: 44, 46, 47 dan 50.
[18] Shahih: HR. Muslim, no. 2167 (13) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[19] Shahih: HR. Muslim no. 2163 (7) dari Sahabat Anas bin Malik.
Tentang masalah menjawab salam Ahlul Kitab, ada sebagian Ulama berpendapat apabila Ahlul Kitab mengucapkan salam dengan jelas (assalamu’alaikum), maka kita harus menjawab dengan jelas pula (wa’alaikum salam) sebagai bentuk keadilan dan menjawab penghormatan yang diperintahkan Allah (QS. Al-Mumtahanah: 8 dan An-Nisâ’: 86). Lihat Ahkâm Ahlidz Dzimmah (I/425/426) karya Ibnul Qayyim, Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah (II/321-322) karya Syaikh al-Albani dan Fatâwal ‘Aqidah (hlm. 235-236) oleh Syaikh Utsaimin.Wallahu a’lam.
[majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XX/1437H/2017M]